Cari Blog Ini

Rabu, 12 September 2007

Fadel, Visi Kepemimpinan dan Pembangunan Gorontalo


Salah satu pekerjaan yang tampak mudah dilakukan tetapi cenderung gagal membawa hasil adalah dalam hal “menilai” kepemimpinan seseorang. Setiap orang memiliki pandangan sendiri tentang pemimpinnya. Demikian juga dengan pemimpin yang bersangkutan, tentu memiliki pandangan khusus tentang diri dan kepemimpinannya. Namun demikian, refleksi atas setiap kepemimpinan merupakan suatu keharusan kalau kita menginginkan perubahan. Visi setiap pemimpin sangat menentukan aksi-aksi yang dilakukannya.

Fadel dan Gorontalo
Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad, adalah contoh menarik dan penting untuk dipelajari. Meskipun sudah beberapa buku dan tulisan sudah dipublikasi tentang Fadel, tetapi kita masih membutuhkan penjelasan-penjelasan yang lebih dalam tentang bagaimana seorang Fadel membangun Gorontalo.
Latar hidup yang dijalani Fadel praktis berhasil mengkombinasikan beberapa hal yang sangat unik. Pengalaman hidupnya merentang jauh sejak di Ternate, Maluku Utara, Gorontalo di Sulawesi, di Jawa dan di berbagai tempat lain di Indonesia hingga ke luar negeri. Fadel bukanlah tipe yang sekedar “mengunjungi” sebuah lokasi. Ia adalah pembelajar dan orang yang aktif “mencari” dan “berbuat” sesuatu. Ia memiliki proyeksi diri yang “aktif” sejak awal.
Kalau bisa dikatakan, meminjam konsep Eric Fromm, Fadel Muhammad adalah pribadi dan visi kepemimpinannya lebih berorientasi pada “to be” dari pada “to have”. Ia selalu berusaha memasukkan berbagai ide, isu dan tantangan dalam konteks bagaimana berbuat dan menciptakan sesuatu. Dan bukan semata menentukan ruang-ruang “keuntungan” dan “kepemilikan” jangka pendek yang sepihak.
Dalam bacaan penulis, Fadel adalah figur yang sejauh ini konsisten berjuang dalam memaknai sesuatu, bahkan memberi makna dan membangun makna dari setiap perjalanan hidup dan karier profesional dan intelektualnya. Dunia bisnis, politik dan birokrasi dijalaninya bukanlah pilihan yang acak dan sekadarnya. Pada semua etape perjalanan profesionalnya ini, tampaknya Fadel tetap konsisten menjaga integritas dan reputasinya. Di semua bidang ini, record Fadel tak berubah. Dia selalu berusaha menjadi yang “terbaik”. Tentu, waktu dan keadaan tak semua berpihak kepada dia. Karena itu, masa-masa surut dan sulit tetap terjadi dan tetap melingkupi perjalanan kariernya.
Gorontalo pantas berutung memiliki seorang Fadel. Begitujuga sebaliknya, Fadel tentu patut berterima kasih karena masyarakat Gorontalo memberinya “kesempatan” untuk memimpin daerah ini. Masyarakat Gorontalo dan Fadel sungguh-sungguh dalam situasi yang beruntung karena bisa “belajar” dan “memberi” satu sama lain dalam konteks membangun daerah dan harga diri sebagai provinsi baru. Gorontalo, dengan brand provinsi Agropolitan telah mendorong menguatnya konsepsi-konsepsi baru yang menyentuh langsung hajat hidup rakyat di Gorontalo. Komoditas jagung, etalase perikanan, SDM dan penguatan good and clean governance serta akses pasar regional dan internasional adalah bagian-bagian kunci dari langkah-langkah inovatif seorang Fadel Muhammad dalam mengukuhkan citra maju bagi provinsi Gorontalo dalam sektor pembangunan dan pemerintahan.
Fadel bukanlah manusia sempurna. Kesan publik atas karakter progresifnya tak semuanya dipahami secara benar. Fadel, saya kira, tidak jarang mengalami “kesunyian” dalam hidup profesionalnya sebagai mantan pengusaha dan menjadi fungsionaris partai politik yang kini menjadi birokrat. Terlalu banyak rambu-rambu birokratis dan kendala-kendala “pola pikir” dan orientasi yang sulit berjalan seiring untuk melakukan perubahan. Tapi, Fadel adalah seorang “engineer”. Dia adalah “perekayasa”, pencipta dan pencinta “karya nyata”. Energi Fadel untuk melalukan perubahan seolah tanpa henti, bahkan tidak jarang membawa kesan dalam pikiran publik bahwa Fadel terlalu sering melakukan “improvisasi” dalam pemerintahan dan pembangunan.
Tulisan ini adalah refleksi bagaimana Fadel Muhammad menjalani tugas-tugas idealisnya dalam memimpin Gorontalo dalam membangun bangsa. Memimpin dalam membuat perubahan tidak semata disebabkan karena seseorang memiliki posisi. Semua tahu bahwa Fadel sudah cukup “kenyang” dengan posisi dan prestasi sebagai tokoh nasional. Tetapi, sebenarnya, Fadel selalu merasa belum cukup karena cita-citanya adalah membangun kemandirian bangsa melalui fondasi jiwa wirausaha. Karena itu, ia, dengan sendirinya, bukan hanya memimpin (leading), tetapi yang lebih mendasar dari itu adalah berpikir (thinking) dan melakukan (doing).
Penulis kira, tidak salah kalau orang berkesimpulan bahwa seorang Fadel selalu bergerak atau digerakkan oleh spirit kepemimpinan yang utama yakni dalam hal memberi contoh dan selalu berani “berhadapan” dengan tantangan dan masalah. Ketulusan hati yang dipandu oleh nurani dan pikiran kreatif dalam memulai sesuatu telah membuat seorang Fadel berhasil memberi warna dan wajah kepemimpinan yang lebih optimis dalam membangun Gorontalo dan Indonesia. Meskipun berbagai bencana belakangan ini mengintai keseharian kita.
Jiwa optimis, semangat tidak mau kalah, bekerja dengan sungguh dan “jangan menangis” merupakan kata-kata kunci bagaimana seorang Fadel membangunkan alam sadar warga bangsa, Gorontalo pada khususnya, untuk menyongsong hari esok. Fadel setiap saat berjuang dan bekerja dalam meyakinkan rakyat bahwa ada banyak kemungkinan dan kesempatan untuk melakukan perubahan, untuk meraih kemajuan demi kesejahteraan rakyat di Gorontalo.
Para pemimpin adalah orang-orang yang memiliki keyakinan tinggi akan masalah prinsip dan memiliki komitmen yang tak tergoyahkan terhadap sekumpulan nilai yang jelas. Tidak mudah mengetahui seluruh “isi” hati dan pikiran seorang Fadel. Tetapi, sikap-sikapnya yang terbuka dan senang berdialog sebenarnya adalah ruang yang penting bagi sikap dan pandangan-pandangan kritis dari berbagai kalangan. Sayang memang karena “ruang terbuka” dari seorang Fadel ini relatif masih terbatas dimanfaatkan. Tak heran jika seolah-olah Fadel mudah terlihat sebagai orang yang pintar dan berani sendiri di tengah-tengah publik Gorontalo.
Di Gorontalo, suara-suara kritis jarang berhasil berbenturan dengan pikiran-pikiran cerdas dan kebijakan inovatif dari Gubernur Fadel Muhammad. Salah satu sebabnya karena argumentasi yang berbobot kurang terkelola baik di wilayah publik atau pun dalam domain institusi, katakanlah itu di media, NGO’s dan kampus, dsb. Namun demikian, sikap-sikap “membuka diri” praktis selalu difasilitasi oleh seorang Fadel Muhammad. Di pihak lain, kapasitas masyarakat yang kritis, tidak boleh tidak harus tetap dikembangkan.
Kritikan adalah suatu hal yang penting. Tetapi, argumentasi yang didasarkan pada kenyataan yang memihak pada kepentingan masyarakat banyak haruslah menjadi acuan bagi sebuah kritikan. Dan, saya kira, yang amat dirindukan Fadel adalah sikap kritis yang memihak, dan bukan perdebatan kusir tanpa ujung yang cenderung diselimuti oleh ketidakjujuran, baik dalam pikiran maupun tindakan.

Fadel dan Pembangunan

Wawasan dasar seorang Fadel Muhammad adalah membangun ekonomi dan institusi pemerintahan yang tujuan akhirnya mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat yang disemangati oleh karakter sosio-kulturalnya.
Untuk membangun, politik diperlukan, bukan dalam pengertian pembagian kekuasaan atau pertarungan kekuasaan. Tapi, yang terpenting adalah bagaimana “menggunakan” kekuasaan. Dalam konteks ini, penulis memahami bahwa Fadel menggunakan politik sebagai alat dan prinsip untuk membangun. Kesempatan politis adalah amanah untuk berbuat sesuatu, dan bukan untuk “mencari” sesuatu atas dasar kepentingan sesaat.
Pembangunan di Indonesia dan di Gorontalo pada khususnya haruslah berakar pada daya produksi dan daya beli rakyat. Gubernur Fadel menyadari prinsip dasar ini. Tapi, pada saat yang sama dia pun sangat tahu bahwa menjalankan konsep pembangunan sangatlah kompleks. Karena itu, Fadel memulai dari kondisi yang langsung menyentuh hajat hidup orang banyak.
“Jagung” adalah kata dan faktor kunci untuk ekonomi Gorontalo. Infrastruktur fisik, kondisi fiskal di daerah, kondisi lingkungan, SDM dan kapasitas aparatur negara merupakan agenda yang sejauh ini terus digenjot. Pada saat yang sama berbagai “jaringan” ke pemerintah pusat dan kerjasama regional dan internasional dilakukan guna menopang political will untuk pembangunan di daerah.
Visi kepemimpinan Fadel Muhammad dalam membangun Gorontalo sejauh ini sudah dijalankan secara konsisten dengan cara-cara yang progresif. Kesadaran rakyat yang masih terus menantikan perubahan dan perbaikan tentu sangat dipahami seorang Fadel Muhammad. Kita berharap sikap jujur dan pikiran jernih tetap bersemai dalam masyarakat Gorontalo dalam menilai pemimpinnya, dan dalam membayangkan harapan-harapannya.Ã

Selasa, 11 September 2007

Buah Hatiku, Muhammad Fadel Nur



Muhammad Fadel Nur, lahir di Barua, Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan, tapat tanggal 31 Juli 2006. Ia dilahirkan oleh seorang bidan kampung bernama dg Sanga, dato'nya sendiri. Semasa dalam kandungan, sang Ibu, Hijumrasutiani dg Simba menghadapi berbagai tantangan. Betapa tidak, mulai dari bulan pertama sampai menjelang lahir, ibunya masih sering mual. Bukan itu saja, ibunya pun malas makan. Untung saja, ia suka makan buah2an.

Ayahnya bernama M. Isnaeni dg Katti, sehari-harinya ia bekerja sebagai penulis buku. Berkat profesinya itu, keluarga bisa bertahan hidup sampai saat ini. Bahkan, membantu keluarga dan orang lain yang memerlukan pertolongan.

Fadel, sejak usia 20 hari, sudah merantau ke kampung orang, tepatnya di Gorontalo bersama Ibu dan Tettanya. Pada usia empat bulan, Fadel sempat kembali ke mampung halamannya, dan kemudian balik lagi ke Gorontalo. Tanggal 18 Maret 2007, Fadel dan keluarganya memilih untuk menetap di Makassar, tepatnya di jalan Mannuruki Raya No 32 Makassar.

Hobbinya sejak usia 2 bulan, ia suka membaca dan bermain yang unik. Memasuki usianya yang ke-3 bulan, ia senang dengan main mouse di komputer. "Senyumnya membuat kami orang orang tua sangat bahagia dan senang sekali", ujar mamanya.

ntar lanjut lagi yah, tetta udah mau pergi cari rejeki....he..he...

Potret Kota Manado


Tanggal 14 Juli 2007, Kota Manado telah genap berusia 384 tahun. Pada hari itu, warga Kota Manado merayakan Hari Ulang Tahun. Hal ini dilakukan sebagai panggilan sejarah yang penuh nuansa penghormatan dan rasa bahagia. Warga kota yang selalu bangga dengan kota kediamannya, tempat di mana ia bermukim yang bernama “Manado”. Warga kota merayakan hari ulang tahun kotanya, karena senantiasa kagum memandang kemajuan kotanya, merupakan tipologi warga kota yang memiliki kepedulian dan mampu memberi keikhlasan merayakan ulang tahun dalam nuansa suka cita dan bahagia.
Hal tersebut terlihat dari sikap spontanitas warga masyarakat Kota Manado dalam membenahi kebersihan dan keindahan lingkungan permukimannya, memasang bendera, dan asesoris/hiasan penyemarak busana dan menyelenggarakan berbagai kegiatan olahraga dan kesenian, merupakan bukti keterikatan dan gambaran batiniah nyata sebagai warga Kota Manado sejati. Sekalipun dibatasi ketersediaan dana, warga Kota Manado tetap tampil sebagai masyarakat yang ingat atas kelahiran kotanya.
Secara historis, Kota Manado dapat ditemui dalam beberapa literatur tampak bahwa pertumbuhan Kota Manado sangat kental dengan heterogenitasnya. Sejak awal didiami, wilayah ini tumbuh sebagai tempat bertemu, tempat dilakukannya perdagangan, pertukaran atau barter antar produksi dari daerah pedalaman Minahasa dengan barang-barang yang berasal dari luar. Tak heran jika Pelabuhan Manado di masa lalu dikenal sebagai “bandar”, yang kini menjadi kawasan pusat kota 45. Kawasan ini sebagai pusat dari berbagai kegiatan ekonomi masyarakat. Secara empiris perkembangan suatu kota dinilai selalu berhubungan dengan pinggiran pantai atau sungai. Hal ini berlaku juga bagi Kota Manado, karena aksesbilitas pantai atau sungai yang diberikan untuk menunjang aktivitas masyarakatnya waktu itu.
Dari waktu ke waktu, permukiman tersebut mulai tumbuh berkembang baik dibangun oleh penduduk asli (Minahasa) maupun dari pendatang yang kemudian tinggal dan menetap di kota ini. Masing-masing warga kota melakukan interaksi sosial masyarakat dengan susana hubungan hidup bermasyarakat yang rukun, demokratis, saling menghargai dan saling menghormati.
Heterogenitas bagi penduduk Kota Manado bukanlah hal baru. Tetapi hal tersebut sudah ada sejak awal bahkan heterogenitas merupakan ciri kota ini. Sikap saling pengertian, demokratis, saling menghargai dan hormat menghormati satu dengan yang lain telah turut memperkuat tali persaudaraan dan kerukunan di Kota Manado terutama dalam mendorong terciptanya sebuah peradaban yang penuh dengan perdamaian dan kerukunan. Ini menjadi modal sosial bagi warga Kota Manado yang dikenal sebagai salah satu kota yang ramah, terbuka, aman dan religius.
Saat ini Kota Manado telah mengalami perubahan yang dapat memberikan implikasi positif terhadap kemajuan masyarakat mencapai kesejahteraannya. Seiring dengan agenda pembangunan di era otonomi daerah yang lebih berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, masyarakat Indonesia juga diperhadapkan dengan tuntutan globalisasi. Oleh kerana itu, Kota Manado diharapkan mampu survive di era globalisasi dengan keyakinan bahwa Kota Manado mampu berinteraksi dan berkompetisi secara global. Sehubungan hal tersebut, maka Kota Manado akan memasuki tahapan pembangunan yang lebih berorientasi pada go internasional, dalam arti kata, pemerintah dan masyarakat harus memiliki kompetensi untuk bersaing dengan negara-negara lain.
Salah satu modal sosial yang harus dijaga dan dilestarikan dalam menunjang pembangunan adalah melestarikan identitas kebangsaan dalam kerangka kebhinekaan serta nilai-nilai budaya, tradisi dan adat istiadat yang dimiliki oleh masyarakat di kota ini. Dampak globalisasi harus mampu diolah dengan baik sehingga dapat memberikan nilai tambah terhadap kemajuan peradaban.
Manado sebagai suatu daerah otonom dengan visi pembangunan: “Menjadikan Kota Manado sebagai Kota Pariwisata Dunia tahun 2010” diharapkan dapat diwujudnyatakan dalam kehidupan bermasyarakat, dengan menjalankan misinya yaitu “menciptakan lingkungan perkotaan yang menyenangkan di mana setiap orang dapat mewujudkan potensi dan impiannya.”
Padangan Pemerintah Kota Manado dalam visinya memberikan makna universal bahwa memajukan kota ini sebagai kota pariwisata dalam rangka mencapai tujuan pembangunan yaitu kesejahteraan, sekaligus hal itu menjadi tugas mulia umat manusia. Olehnya itu, perwujudan harapan warga kota maka harus senantiasa dibarengi dengan political will dan komitmen bersama seluruh komponen yang ada di daerah ini.
Untuk menjabarkan visi dan misi tersebut, disusunlah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Manado tahun 2005-2010. Karena, berdasarkan ketentuan pasal 150 UU Nomor 32 Tahun 2004, pasal 5 UU Nomor 25 Tahun 2004, ditegaskan visi, misi, dan program kepala daerah terpilih harus dijabarkan kedalam RPJMD. Dan ternyata, visi-misi tersebut bukan hanya jorgan semata. Untuk mewujudkan mimpi, menjadikan Manado sebagai kota pariwisata dunia pada 2010, sarana pendukung berupa infrastruktur jalan dan drainase, mulai diperbaiki.
Memasuki tahun ajaran baru tepatnya Juli 2006 silam, duet Imba-Abdi, kembali bikin kejutan. Kepsek yang dianggap inkonsisten terhadap program pemerintah kota dalam mencerdaskan warganya dan menghambat kinerja Pemkot yang menggratiskan pendidikan, dimutasi, bahkan di nonjobkan. Bukan hanya itu, pungli yang dibungkus uang pembangunan, yang terlanjur disetor orang tua murid ke pihak sekolah, harus dikembalikan. Para orang tua murid pun, bersuka cita dengan gaya kepemimpinan Imba-Abdi yang begitu peduli dengan pendidikan.
Problem sampah yang selama ini jadi masalah klasik, tak luput dari perhatian. Untuk menjerat warga Manado yang ’doyan’ buang sampah sembarangan, dibuatlah Perda Nomor 07 tahun 2006, Tentang Pengelolaan Persampahan dan Retribusi Pelayanan Kebersihan. Tak tanggung-tanggung Perda ini memberikan sanksi super berat, yakni denda Rp 50 juta, serta kurungan badan 6 bulan lamanya. Seolah ingin memperlihatkan ’powernya’ duet Imba-Abdi kembali bikin ’sensasi'’ Tepatnya Kamis (10/8/2006) silam, atas perintahnya Polisi Pamong Praja (PP) yang di-backing aparat dari Kepolisian dan TNI, ”meratakan” ratusan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan di pusat kota pasar 45, atau yang ngetrend dengan sebutan Leter T. Hangar dengan tenda birunya, yang selama ini jadi ’ikon’ pusat kota, sekarang tinggal kenangan. Penertiban ini dilakukan setelah dilakukan dialog yang melibatkan 3 elemen, yakni PKL, Pemkot, dan Dekot. ”Pokoknya yang namanya PKL tetap akan ditertibkan. Biar Manado kelihatan bersih dan tertata dengan baik,” tandas Imba beberapa waktu lalu.
Yang menarik ’power’ pemerintahan Imba-Abdi bukan hanya dipertontonkan, pada hari pertama saat penertiban. Namun, berlangsung hingga 3 hari berturut-turut. Imbasnya, protespun bermunculan. Atas nama PKL, 2 personil Deprov Sulut, memimpin demo besar-besaran, yang menolak relokasi, dengan alasan tempat yang disediakan Pemkot kurang refresentatif. Selain itu juga, pembeli kurang mengunjungi tempat baru yang disediakan Pemkot. Namun, ibarat kata pepatah ’anjing menggonggong kafilah berlalu’, Imba-Abdi tetap pada pendiriannya, relokasi tetap dilakukan. Namun, dibalik protes yang datangnya bertubi-tubi, tidak sedikit juga warga yang mendukung kebijakan tersebut. Di mata mereka, hanya pemerintahan saat inilah, yang berani melakukan penertiban terhadap PKL. Sementara walikota dan wakil walikota sebelumnya hanya mewacanakan penertiban, tanpa ada action.
Sementara kado istimewa, yang super spesial yang diberikan Imba kepada warga Manado setahun di masa kepemimpinannya adalah, lolosnya Persma sebagai salah satu tim dari Bumi Nyiur Melambai, untuk berlaga di Divisi Utama, yang merupakan kasta tertinggi dalam persepakbolaan Indonesia.
Ibarat itik, Imba-Abdi masih baru belajar berenang. Sedang mencari formula baku untuk diterapkan, agar tidak salah arah, dan tidak melenceng dari visi dan misi yang telah disepakati bersama. Memasuki tahun kedua, warga berharap duet Imba-Abdi, mampu membawa mereka untuk berlabuh di pelabuhan ’cinta’ yang masyarakatnya tertib, sejahtera, rukun, dan damai. Bukan sebaliknya, membawa warganya makin menjauh (Mana Rou; Mana Dou) dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Manado.
Saat ini kepemimpinan Kota Manado telah memasuki tahun kedua, dimana agenda-agenda publik terus digalakkan terutama program-program strategi pembangunan Kota Manado saat ini dan di masa akan datang.
Implikasi berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh kepemimpinan Imba-Abdi memasuki tahun kedua telah melahirkan suatu prestasi yang cukup membanggakan,terutama dalam menata Kota Manado menuju Kota Pariwisata Dunia 2010 dan menyongsong sebagai tuan rumah pelaksanaan agenda internasional: World Ocean Conference (WOC) 2009. Hasilnya, dengan diraihnya piala ADIPURA TAHUN 2007 sebagai salah satu kota sedang terbersih.
Suatu impian yang telah lama didambakan oleh warga kota Manado sejak 1994 (terakhir menerima piala ADIPURA KENCANA), kondisi tersebut sebagai entry point terbangunnya kembali semangat dan komitmen masyarakat dan pemerintah kota secara bersama-sama dalam menciptakan lingkungan perkotaan yang menyenangkan (bersih, indah, asri dan berwawasan lingkungan) bagi setiap masyarakat untuk menggapai serta mewujudkan potensi dan impian warga Kota Manado.[ ]

Profil: Menjadi Penulis adalah Pilihan Hidup


M. ISNAENI bekerja sebagai penulis buku. Ia telah menulis lebih dari 20 judul buku dan melakukan sejumlah penelitian di bidang pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan pembangunan daerah. Ia lahir 12 Juni 1978 di sebuah dusun, bernama Su’rulangi, tepatnya di Desa Cakura (dulu Bulukunyi), Kecamatan Polombangkeng Selatan Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Pada tanggal 09 Juli 2005, ia menikah dengan Hijumrasutiani, dan dikaruniai satu orang putra, M. Fadel Nur (1 thn). Ia Menempuh pendidikan pada Sekolah Dasar Negeri Kato’nokang (1990), SMP Negeri 1 Galesong (1993), SMA Negeri 2 Takalar (1996). Kemudian merantau ke Manado untuk melanjutkan pendidikannya pada Jurusan Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Manado dan lulusan dengan predikat Cum Laude (2001). Semasa kuliah, ia terpilih sebagai Juara I Mahasiswa Teladan Fakultas (2000), dan Juara I Mahasiswa Teladan Tingkat Universitas (2001).
Minatnya dalam tulis menulis bermula di bangku kuliah, ketika itu, ia mulai merintis beberapa media mahasiswa, sekaligus menjadi pemimpinnya. Diantaranya, Buletin Tafakkur, Tabloid Edukasi, Suara Mahasiswa. Selain mengasa kemampuan menulisnya, ia pun terlibat aktif dalam berbagai kegiatan organisasi kemahasiswaan, diantaranya menjadi Pengurus Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Unima (1999-2000), Ketua Umum Badan Tazkir Mahasiwa FIS Unima (1999-2000), Ketua Umum Lembaga Kajian dan Penerbitan Mahasiswa Unima (1999-2001). Selain di kampus, ia mengikuti pengkaderan pada organisasi ekstra kemahasiswaan, seperti pada Forum Komunikasi Mahasiswa Muslim (FKMM), IKAMI Sul-Sel, PMII dan HMI Cabang Manado.
Setelah menyelesaikan studinya, ia memilih dunia profesional-entrepreneur, dengan merintis dan mengelola penerbitan Media Pustaka Manado (2002-sekarang) sekaligus sebagai direkturnya. Selain di penerbitan, ia mendirikan Pusat Edukasi Lokal (PusKaL) Sulawesi Utara (2003). Pernah menjadi Koordinator Liputan Tabloid Ba’kawang yang diterbitkan USAID-CSSP Jakarta-Yayasan Serat (2003). Redaktur Pelaksana Jurnal Ilmiah Widya Darma (Kajian Ekonomi & Pembangunan) STIE Widya Darma (2002-2003), Redaktur Pelaksana Jurnal Ilmiah Sosiologi FISIP Unsrat (2006-sekarang).
Pada tahun 2006, ia mengembangkan usaha penerbitan yang dirintisnya, dengan mendirikan penerbit PT. Pustaka Indonesia Press (PIP) Jakarta dan di Makassar ia mendirikan Penerbit Media Pustaka Utama (Medika) Publishing. Perusahaan tersebut bergerak dalam bidang penerbitan, percetakan dan distributor.
Sampai saat ini, ia telah menyelesaikan beberapa buku, baik sebagai penulis, editor dan penyunting, di antaranya: Desentralisasi Pendidikan (2002), Otonomi Daerah, Kebijakan dan Pemberdayaan (2002), Kesultanan Ternate karya H.M. Jusuf Abdurrahaman (Editor, 2002), Otonomi Daerah (Gagasan & Pengalaman) (Editor, 2002), Mengubah Visi Menjadi Kenyataan, Refleksi Kepemimpinan Fadel Muhammad (2003), Gorontalo Sebuah Refleksi Kerakyatan (Editor, 2003), Molintak Kon Totabuan, Visi, Strategi dan Kebijakan Dalam Otonomi Pembangunan Bolaang Mongondow (2003), Manajemen Kolaborasi (Editor, 2004), Demokratisasi Pendidikan (Editor, 2004), Senandung Damai Anak Negeri (2004), Membangun Tomohon Dalam Perspektif Masa Depan (2004), Teori Sastra Indonesia, Masih Di Batas Perdebatan (Editor, 2004), Mencipta Gagasan, Mendorong Gerakan (2004), Tomohon Menuju Daerah Otonom (Editor, 2005), Melestarikan Alam Membangun Peradaban Sosok dan Kiprah Linneke Syennie Watoelangkow (2004) Manajemen Pemerintahan Daerah (2005), Koperasi dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (2006), Biografi Abd. Djabbar Bahua (2006), Biografi Fadel Muhammad Dari Pengusaha ke Birokrat (2006), Mempraktekkan Entrepreneurial Government (Editor, 2006), UNG Menuju Universitas Bermutu (2006), Paradigma Pendidikan Dalam Pembangunan Daerah (Editor, 2006), Gorontalo, Kesaksian dan Harapan Masa Depan (Penyunting, 2006), Pembangunan Gorontalo Agenda, Tantangan dan Rekomendasi (Editor, 2007), Inovasi Pendidikan (Editor, 2007), Peta Mental Masyarakat Dalam Mengelola Lingkungan Hidup (Editor, 2007), Pembangunan Berbasis Kerakyatan, Visi, Misi, Kebijakan dan Agenda Strategi Kepemimpinan David-Sofyan (2007), Gorontalo: Kotaku, Kotamu, Kota Kita karya A.W. Talib (Editor, 2007), Pembangunan Minahasa Tenggara Menuju Daya Saing Daerah (Tim Editor, 2007). Teknologi Informasi Pendidikan Tinggi Masa Depan (Editor, 2007), Membangkitkan Peran Pemuda & Prestasi Olahraga Indonesia karya Adhyaksa Dault (Menpora RI), (Editor, 2007), Quantum Birokrasi, Paradigma Baru Pembangunan Pemerintahan (2007). Membangun Takalar Menuju Kesejahteraan karya Makmur A. Sadda (Editor, 2007).
Selain ia menekuni usaha penerbitan, ia pun aktif dalam kegiatan kajian dan penelitian. Saat ini, ia sebagai Direktur Institute of Regional Development Studies (IRDS) dan Sulsel Institute sebuah lembaga nirlaba yang fokus pada studi-studi pembangunan daerah, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan penguatan demokrasi lokal. Telah melakukan riset dan survey dalam bidang kebijakan publik, otonomi, pendidikan dan ekonomi lokal.